Kamis, 18 Februari 2010

RUANG LINGKUP ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999

BAB I
PENDAHULUAN




1.1. Latar Belakang Masalah
Dahulu boleh dikatakan orang lebih mengenal peradilan sebagai pranata yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang berselisih. Namun sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa ada alternatif penyelesaian sengketa yang sesungguhnya telah dikenal sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa alternatif ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 Rv tersebut.
Sekarang ini kita mengenal adanya penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan formal, yakni Penyelesaian Sengketa Alternatif yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang mendasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sengketa yang bisa dibawa ke arbitrase adalah sengketa perdata yang bersifat hukum perdata dan hukum dagang.
Kegunaan menerapkan perjanjian arbitrase secara paksa pada umumnya timbul ketika salah satu pihak mencoba untuk menghambat proses arbitrase. Perlawanan yang tersedia bagi pihak lain adalah meminta kepada arbiter untuk memberikan putusannya tentang keabsahan perjanjian arbitrase tersebut.
Dalam banyak hal, beberapa ketentuan positif yang mengatur pranata penyelesaian sengketa di luar peradilan ada yang tidak singkron dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase).
Dengan tidak mengurangi adagium hukum yang mengatakan bahwa senantiasa ada asas lex specialis derograt lex generalis (sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase) namun secara esensi, beberapa ketentuan khusus menyatakan bahwa salah satu pihak dapat setiap saat menyatakan diri keluar dari forum atau proses penyelesaian sengketa alternatif jelas bertentangan dengan jiwa pengakuan akan keberadaan pranata alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diambil permasalahan yaitu bagimana Ruang Lingkup Arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ?

1.3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami Ruang Lingkup Arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

BAB II
RUANG LINGKUP ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 1999


1. Lingkup Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

2. Tujuan dan lingkup kegiatan Lembaga Arbitrase
BANI didirikan untuk tujuan :
BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada Tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.
Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini BANI memiliki lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 30% diantaranya adalah asing.
Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat.
Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri :
a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan / pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

3. Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Lainnya
a. Konsultasi
Merupakan suatu tindakan yang bersifat ”personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan ”klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak ”konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengatakan sifat ”keterkaitan” atau ”kewajiban” untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusannya yang akan diambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut.
Berarti konsultasi sebagai bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tersebut.

b. Negosiasi dan Perdamaian
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”. Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dengan ancaman tidak sah. Negosiasi menurut rumusan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut :
- Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
- Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk ”pertemuan langsung” oleh dan antara para pihak yang bersengketa.
Selain itu perlu dicatat pula bahwa ”negosiasi”, merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sbelum proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sodang peradilan dilaksanakan, baik didalam maupun diluar sidang peradilan (pasal 130 HIR)
Pada umumnya negosiasi merupakan suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan ”pertemuan secara langsung” pada saat negosiasi dilakukan, negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri.
Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses ”penjajakan” kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan / melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan ”kelonggaran” atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditanda tangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak.
c. Mediasi
Menurut rumusan Pasal 6 Ayat (3) tersebut juga dikatakan bahwa ”atas kesepakatan tertulis para pihak” sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui ”seorang mediator”.
Mediasi jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral atau tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai ”mediator”. Sebagai pihak yang netral, independen dan tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak, mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian, ada satu pola umum yang dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudia mediator dapat menentukan perkara, ”kekurangan” dan ”kelebihan” dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudia dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
d. Konsiliasi dan Perdamaian
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat kita temui satu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi tidak beda jauh dari arti perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut pun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.
e. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase.
Ternyata arbitrase dalam bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian ”pokok”, melainkan juga dapat memberikan ”konsultasi” dalam bentuk ”opini” atau ”pendapat hukum” atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian. Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya.


BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Menurut Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada Tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat. Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Lainnya :
a. Konsultasi
b. Negosiasi dan Perdamaian
c. Mediasi
d. Konsiliasi dan Perdamaian
e. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase.


3.2. Saran
Adanya sebuah langkah optimalisasi dan fungsi controlling yang baik terhadap operasionalisasi dari arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, agar kompetensi dari badan arbitrasi bisa diimplementasikan dengan efektif guna mereduksi komplikatifnya permasalahan seputar perkara-perkara perdata, khususnya yang berkaitan dengan perniagaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar